Hutang Luar Negeri dalam Perspektif Islam

Hutang luar negeri telah menjadi salah satu topik yang hangat dibicarakan dari berbagai perspektif didalam negeri, baik dari perspektif sosial, politik maupun ekonomi itu sendiri. Akan tetapi banyak masyarakat yang tidak menyadari bagaimana hutang luar negeri jika dilihat dari perspektif Islam, oleh karena itu disini akan dijelaskan Hutang luar negeri dalam perspektif Islam yang akan dituangkan dalam paragraf dibawah ini.

Hutang luar negeri adalah sebagian dari seluruh hutang negeri yang diperoleh dari kreditor luar negeri. Penerima hutang luar negeri bisa dari pemerintahaan, perusahaan maupun individual, sementara bentuk hutang dapat berupa utang maupun jasa yang diperoleh dari negara lain, perusahaan luar, maupun Lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, Asian Developed Bank (ADB) dan International Monetary Fund (IMF). Indonesia sendiri telah berhutang kepada beberapa negara dan lembaga keuangan dunia. Jika bisa dilihat dari data riset terbaru pada tahun 2018 total hutang Indonesia mendekati angka US$ 358,6 Miliar.[1]

            Hutang luar negeri Indonesia sangat besar hal tersebut bertujuan untuk pembangunan nasional. Masalah hutang luar negeri sebenarnya telah ada semenjak diawal kemerdekaan dan berlangsung hingga saat ini. Bahkan tiga bulan setelah Soekarno menyampaikan proklamasi  tepatnya pada Bulan November 1945 Indonesia sudah memiliki persiapan untuk meminjam dana keluar negeri. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena Indonesia baru saja merdeka dan mempunyai tujuan untuk membangun kesejahteraan rakyat dan kedepannya untuk Pembangunan Nasional.

Dari perspektif pandang Islam secara umum ada dua pandangan terhadap hutang luar negeri. Pandangan pertama hutang luar negeri diperbolehkan asalkan bersistemkan external financing, karena dalam sistemnya sesuai Syariah dan bertujuan untuk saling membantu.[2] Seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dll. Sehingga dapat disimpulkan dalam pandangan pertama bahwa hutang luar negeri diperbolehkan dengan alasan untuk saling membantu. Adapun untuk pandangan kedua hutang luar negeri secara tegas dilarang, karena khususnya dizaman ini dimana mayoritas negara kreditur adalah bukan negara islam. Sehingga akan terjadi riba didalam utang luar negeri, padahal sudah diterangkan secara jelas bahwa hutang ataupun hal transaksi ekonomi yang terdapat riba didalamnya adalah haram.[3] Jika dilihat ulang data diatas, tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia banyak  melakukan pinjaman utang luar negeri kepada negara kreditur yang non islam, sehingga sudah pasti mengandung riba. Jadi hutang luar negeri pada saat ini karena banyak negara non muslim yang menjadi kreditur, maka hutang luar negeri secara mayoritas adalah haram.

Menurut Tokoh Islam kontemporer masalah hukum hutang luar negeri terdapat tiga pendapat. Pertama menurut Mannan, Negara Islam Modern harus mengambil langkah utang luar negeri untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Pinjaman tersebut boleh dari lembaga atau negara non muslim, dengan syarat negara atau lembaga kreditur tidak memberi beban bunga atau riba.[4] Sehingga Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam boleh saja meminjam ke negara atau Lembaga non Islam, akan tetapi dengan syarat bebas bunga atau riba. Kedua menurut Umar Chapra hutang luar negeri adalah cara yang tidak efektif, selain tidak lepas dari unsur bunga hal tersebut juga memberatkan generasi berikutnya untuk membayar hutang tersebut. Menurut Umar Chapra cara terbaik selain hutang luar negeri adalah dengan menaikan pajak.[5] Sehingga dapat disimpulkan menurut Umar Chapra hutang luar negeri tidak efektif dan sebagai solusinya adalah memanfaatkan pajak. Adapun untuk yang ketiga yaitu Abdullah Qadim Zallum dengan cara yang hampir sama dengan Umar Chapra bahwasanya utang luar negeri bukanlah cara yang tepat, akan tetapi pajak atau kewajiban Kaum Muslimin yang harus diutamakan.[6] Sehingga menurut Abdullah Qadim Zallum bahwasanya hutang negara bukan menjadi solusi utama, akan tetapi solusi utama adalah kewajiban kaum muslimin itu sendiri.

 Utang luar negeri adalah cara mendapatkan dana atau sumber daya secara instan, akan tetapi dibalik itu semua khususnya di zaman ini hutang luar negeri tidak terlepas dari bunga atau riba. Selain itu hutang yang terdapat juga juga membebani generasi yang akan datang dimana mereka harus membayar hutang tersebut bersama dengan bunganya. Oleh karena itu bangsa ini harus memutuskan apakah bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang dikenal sebagai bangsa peminjam atau menjadi bangsa yang terhormat dan mandiri yang diridhai Allah swt.


[1] Chandra Gian Asmara, “5 Negara dan Organisasi yang Paling Rajin Beri Utang ke RI”, https://www.cnbcindonesia.com/news/20180717101209-4-23890/5-negara-organisasi-yang-paling-rajin-beri-utang-ke-ri  (diakses pada 26 September 2019, pukul 14:11)

[2] MB HendrieAnto, “Perspektif Islam tentang Hutang Luar Negeri dan Hutang Luar Negeri Negara-negara Islam”. UNISIA. Vol. 27 No. 43, Januari 2001, hal. 481.

[3] Ibid.

[4] Muhajirin*,” KONSEP HUTANG NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI ISLAM”. Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. Vol. 3 No. 06, 2015, hal. 350.

[5] Ibid.

[6] Ibid., 351.

Albar Gunawan (ed. Akmal Fauzan)